My Fish

Selasa, 05 Juni 2012

Resensi Buku 'Ayat-Ayat Cinta'

Judul : Ayat-Ayat Cinta

Pengarang : Habiburrahman El-Shirazy

Tebal Buku : 411 halaman

Diresensi oleh : Shelvi Novianita

SINOPSIS

“Mencintai-Nya Menuntunku Pada Cintamu”

Fahri bin Abdillah adalah pelajar Indonesia yang berusaha menggapai gelar masternya di Al Ahzar. Berteman dengan panas dan debu Mesir. Berkutat dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Bertahan dengan menjadi penerjemah buku-buku agama. Belajar di Mesir, membuat Fahri dapat mengenal Maria, Nurul, Noura, dan Aisha.

Maria Grigis adalah tetangga satu flat Fahri, yang beragama Kristen Koptik tapi mengagumi Al Quran. Dan menganggumi Fahri. Kekaguman yang berubah menjadi cinta. Sayangnya, cinta Maria hanya tercurah dalam diary saja.

Sementara Nurul adalah anak seorang kyai terkenal, yang juga mengeruk ilmu di Al Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati pada gadis manis ini. Sayang rasa mindernya yang hanya anak keturunan petani membuatnya tidak pernah menunjukkan rasa apa pun pada Nurul. Sementara Nurul pun menjadi ragu dan selalu menebak-nebak.

Sedangkan Noura adalah tetangga Fahri, yang selalu disika Ayahnya sendiri. Fahri berempati penuh dengan Noura dan ingin menolongnya. Hanya empati saja. Tidak lebih! Namun Noura yang mengharap lebih. Dan nantinya ini menjadi masalah besar ketika Noura menuduh Fahri memperkosanya.

Dan yang terakhir adalah Aisha. Si mata indah yang menyihir Fahri. Sejak sebuah kejadian di metro, saat Fahri membela Islam dari tuduhan kolot dan kaku, Aisha jatuh cinta pada Fahri. Dan Fahri juga tidak bisa membohongi hatinya.

Lantas, siapakah yang nantinya akan dipilih Fahri? Siapakan yang akan dipersunting oleh Fahri? Siapakah yang dapat mencintai Fahri dengan tulus? Mari kita cari jawabannya dari sinopsis “Ayat-Ayat Cinta” berikut.

Fahri sedang dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi (belajar secara face to face pada seorang syaikh) pada Syaikh Utsman, seorang syaikh yang cukup tersohor di Mesir.

Dengan menaiki metro, Fahri berharap ia akan sampai tepat waktu di Masjid Abu Bakar As-Shiddiq. Di metro itulah ia bertemu dengan Aisha. Aisha yang saat itu dicacimaki dan diumpat oleh orang-orang Mesir karena memberikan tempat duduknya pada seorang nenek berkewarganegaraan Amerika, ditolong oleh Fahri. Pertolongan tulus Fahri memberikan kesan yang berarti pada Aisha. Mereka pun berkenalan. Dan ternyata Aisha bukanlah gadis Mesir, melainkan gadis Jerman yang juga tengah menuntut ilmu di mesir.

Di Mesir Fahri tinggal bersama dengan keempat orang temannya yang juga berasal drai Indonesia. Mereka adalah Siful, Rudi, Hamdi, dan Misbah. Mereka tinggal di sebuah apartemen sederhana yang mempunyai dua lantai, dimana lantai dasar menjadi temapt tinggal Fahri dan empat temannya, sedangkan yang lanai atas ditemapati oleh keluarga Kristen Koptik yang sekaligus menjadi tetangga mereka. Keluarga ini terdiri dari Tuan Boutros, Madame Nahed dan dua oranga nak mereka, taitu Maria dan Yousef.

Walau keyakinan dan aqiqah mereka berbeda, tapi antara keluarga Fahri dan Tuan Boutros terjalin hubungan yang sangat baik. Terlebih Fahri dan Maria berteman begitu akarab. Fahri menyebut Maria sebagai gadis koptik yang aneh. Bagaimana tidak, Maria mampu menghafal surat Al-Maidah dan surat Maryam.

Selain bertetangga dengan keluarga Tuan Boutros, Fahri juga mempunyai tetangga lain berkulit hitam yang perrangainya berbanding seratusdelapan puluh derajat dengan keluarga Boutros. Kepala keluarga ini bernama Bahadur. Istrinya bernama madame Syaima dan anak-anaknya bernama Mona, Suzanna, dan Noura.

Bahadur, madame Syaima, Mona, dan Suzanna sering menyiksa noura karena rupa serta warna rambut Noura yang berbeda dengan mereka. Noura berkulit putih dan berambut pirang. Ya, nasib Noura memang malang.

Suatu malam Noura diusir Bahadur dari rumah. Noura diseret ke jalan sembari dicambuk. Tangisannya memilukan. Fahri tidak tega melihat Noura diperlakukan demikian oleh Bahadur. Ia meminta Maria melalui sms untuk menolong Noura. Fahri tidak bisa menolong Noura secara langsung karena Noura bukan muhrimnya. Maria pun bersedia menolong Noura malam itu. Ia membawa Noura ke flatnya.

Fahri dan Maria berusaha mencari tahu siapa keluarga Noura sebenarnya. Mereka yakin Noura bukanlah anak Bahadur dan madame Syaima.

Dan benar. Noura bukan anak mereka. Noura yang malang itu akhirnya bisa berkumpul bersama orang-orang yang menyayanginya. Ia sangat berterima kasih pada Fahri dan Maria.

Sementara itu, Aisha tidak dapat melupakan pemuda yang baik hati mau menolongnya di metro saat itu. Aisha rupanya jatuh hati pada Fahri. Ia meminta pamannya Eqbal untuk menjodohkannya dengan Fahri. Kebetulan, paman Eqbal mengenal Fahri dan Syaik Utsman. Melalui bantuan Syaik Utsman, Fahri pun bersedia untuk menikah dengan Aisha.

Mendengar kabar pernikahan Fahri, Nurul menjadi sangat kecewa. Paman dan bibinya sempat datang ke rumah Fahri untuk memberitahu bahwa keponakannya sangat mencitai Fahri. Namun terlambat! Fahri akan segera menikah dengan Aisha. Oh, malang benar nasib Nurul.

Dan pernikahan Fahri dengan Aisha pun berlangsung. Fahri dan Aisha memutuskan untuk berbulanmadu di sebuah apartemen cantik selama beberapa minggu.

Sepulang dari ‘bulanmadu’nya, Fahri mendapat kejutan dari Maria dan Yousef. Maria dan adiknya itu datang ke rumah Fahri untuk memberikan sebuah kado pernikahan. Namun Maria tampak lebih kurus dan murung. Memang, saat Fahri dan Aisha menikah, keluarga Boutros sedang pergi berlibur. Alhasil, begitu mendengar Fahri telah menjadi milik wanita lain dan tidak lagi tinggal di flat, Maria sangat terpukul.

Kebahagian Fahri dan Aisha tidak bertahan lama karena Fahri harus menjalani hukuman di penjara atas tuduhan pemerkosaan terhadap Noura. Noura teramat terluka saat Fahri memutuskan untuk menikah dengan Aisha.

Di persidangan, Noura yang tengah hamil itu memberikan kesaksian bahwa janin yang dikandungnya adalah anak Fahri. Pengacara Fahri tidak dapat berbuat apa-apa karena ia belum memiliki bukti yang kuat untuk membebaskan kliennya dari segala tuduhan. Fahri pun harus mendekam di bui selama beberapa minggu.

Satu-satunya saksi kunci yang dapat meloloskan Fahri dari fitnah kejam Noura adalah Maria. Marialah yang bersama Noura malam itu (malam yang Noura sebut dalam persidangan sebagai malam dimana Fahri memperkosanya).

Tapi Maria sedang terkulai lemah tak berdaya. Luka hati karena cinta yang bertepuk sebelah tangan membuatnya jatuh sakit. Tidak ada jalan lain. Atas desakan Aisha, Fahri pun menikahi Maria. Aisha berharap, dengan mendengar suara dan merasakan sentuhan tangan Fahri, Maria tersadar dari koma panjangnya. Dan harapan Aisha menjadi kenyataan. Maria dapat membuka matanya dan kemudian bersedia untuk memberikan kesaksian di persidangan. Alhasil, Fahri pun terbebas dari tuduhan Noura. Dengan kata lain, Fahri dapat meninggalkan penjara yang mengerikan itu.

Noura menyesal atas perbuatan yang dilakukannya. Dengan jiwa besar, Fahri memaafkan Noura. Dan, terungkaplah bahawa ayah dari bayi dalam kandungan Noura dalah Bahadur.

Fahri, Aisha, dan Maria mampu menjalani rumah tangga mereka dengan baik. Aisha menganggap Maria sebagai adiknya, demikian pula Maria yang menghormati Aisha selayaknya seorang kakak. Tidak ada yang menduga jika maut akhirnya merenggut Maria. Namun Maria beruntung karena sebelum ajal menjemputnya, ia telah menjadi seorang mu’alaf.

Dari buku kita tahu bahwa Fahri selalu “menjaga diri” di tengah wanita-wanita yang dekat dengannya. Hal itu Fahri lakukan karena rasa cintanya pada Yang Maha Kuasa. Fahri berusaha konsisten dengan prinsip, dan ajaran agama yang ia pegang teguh. Cinta Fahri pada agama dan Sang Khalik menuntunnya pada cinta Aisha. Atas izin Allah Fahri dan Aisha bersatu di bawah payung cinta yang tulus mengharapkan ridhaNya.

KELEBIHAN
Ceritanya begitu menyentuh dan mengalir seakan pembaca mengalami berbagai problema yang melilit sang tokoh
Penulis mengajak pembaca mendalami Islam dengan bahasanya yang menyejukkan
Kisah-kisah hubungan antar manusia (kisah cinta) digambarkan secara menarik dan utuh tanpa harus terasa vulgar.

KEKURANGAN
Seorang pria dicintai empat orang wanita. Mungkinkah? Jika dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, rasanya aneh jika ada pria yang di”gilai” oleh empat orang wanita sekaligus. Baik Aisha, Maria, Noura, dan Nurul menginginkan Fahri menjadi suaminya. Beruntung sekali tokoh Fahri! Mungkinkah hal yang demikian ada dalam kehidupan nyata?
Noura frustasi karena tidak mendapatkan cinta Fahri. Ia lantas memfitnah Fahri dengan tuduhan yang kejam. Benarkah ada seorang wanita yang seperti Noura dalam kehidupan nyata? Cinta tetaplah cinta. Tidak akan berubah menjadi pisau yang dapat menusuk dari belakang.

KEBERMANFAATAN
Merupakan media penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang islam
Dengan membaca novel ini kita dapat mengetahui geografi kota Mesir serta sosial budaya Timur Tengah tanpa harus pergi ke sana.
Memberikan contoh pada kita tentang sebuah pernikahan yang baik dan sesuai syariat Islam.


sumber : disini

Kekerasan Genk motor

Dalam beberapa waktu terakhir ini, kita disuguhi sebuah fenomena kekerasan yang dilakukan komunitas yang bermula dari hobi, namun aktivitasnya berujung keonaran hingga kriminal. Di sejumlah kota, kelompok yang familiar disebut geng motor kembali berulah.
Kelompok ini terlibat dalam sejumlah aksi kekerasan, bahkan sampai menelan korban jiwa. Kekerasan itu tak hanya melibatkan atau membenturkan sesama geng motor, tapi juga telah meresahkan warga masyarakat.
Kebrutalan geng motor terjadi pada Jumat (6/4) dinihari saat sekelompok orang bermotor mengeroyok seorang warga di Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Korban bernama Rahmad Gunawan tewas dalam pengeroyokan. Polisi mengatakan kejadian itu dilatari balas dendam.

Pada Ahad (8/4) dinihari, empat warga juga dikeroyok sekitar 30 pemuda berambut cepak di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakpus. Kelompok yang menumpang 15 motor lebih itu juga melakukan aksi pembakaran motor.

Sehari sebelumnya, empat remaja, satu di antaranya tewas dengan kondisi mata tertusuk di SPBU Shell, Jalan Danau Sunter, Jakarta Utara. Mereka dikeroyok lebih dari 15 orang pemuda yang ditengarai polisi merupakan anggota geng motor.

Aksi kekerasan geng motor tidak saja terjadi di Jakarta, tetapi juga di daerah lain seperti Makassar, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Pekanbaru.

Aksi kekerasan yang melibatkan geng motor tentu saja tak bisa dipukul rata, karena tidak semua geng motor terlibat aksi kekerasan yang meresahkan warga. Geng-geng motor resmi sebagian besar dikenal cukup proaktif dalam membantu kegiatan kemasyarakatan, pemerintah dan bahkan aparat kepolisian.

Namun demikian, pembiaran terhadap aksi kekerasan yang dilakukan geng motor liar tentu bisa merusak citra geng motor resmi, termasuk pengguna motor gede (moge). Tak hanya itu, aksi kekerasan yang terus terjadi di beberapa tempat tentu juga bisa merusak citra kelompok-kelompok informal anak muda yang tujuan awalnya sangat baik.

Fenomena Kekerasan

Aksi-aksi kekerasan yang melibatkan geng motor bak melengkapi fenomena kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat kita. Seakan tiada hari tanpa kekerasan dan anarki. Aksi-aksi kekerasan yang setiap kali muncul tersebut melibatkan kelompok atau individu dengan berbagai alasan, mulai ideologi, politik sampai masalah-masalah yang sangat sepele.

Kekerasan atas nama agama, suku, ras dan keyakinan tertentu sering dianggap kekerasan bernuansa ideologis. Orang tidak ragu-ragu lagi melakukan aksi kekerasan karena alasan ideologis. Orang-orang semacam itu rela bunuh diri untuk suatu ideologi tertentu, seperti tercermin aksi-aksi kekerasan yang dilakukan teroris.

Namun harus juga disadari bahwa ideologi sering juga dijadikan oleh seseorang atau kelompok tertentu sebagai alat untuk menekan (dengan tindakan kekerasan) seseorang atau kelompok lain. Dalam konteks itu, alasan ideologi dalam kekerasan kadang juga bercampur atau dimanfaatkan untuk kepentingan politis, seperti terjadi dalam pelbagai persaingan politik.

Selain itu, kekerasan yang dilakukan beberapa kelompok di masyarakat sering karena alasan sepele. Tawuran antarpelajar, mahasiswa, pendukung sepakbola, kekerasan geng motor, sampai konflik antarkelompok masyarakat (konflik sosial horizontal) kerap disebabkan masalah sederhana, seperti salah paham dan saling ejek.

Fenomena siklus kekerasan di sekitar kita kenyataannya sulit dihentikan karena berbagai kondisi. Fenomena ini juga sudah ada sejak lama, tetapi makin semarak sejak era reformasi dan demokrasi sekarang ini.

Reformasi yang bertujuan untuk menegakkan kehidupan demokrasi dan pemerintahan yang bersih dan baik sejauh ini masih menghadapi berbagai kendala. Semangat reformasi mulai luntur, dan penonjolan yang mengemuka hanya retorika dan euforia reformasi.

Kebebasan menyampaikan pendapat seringkali keluar dari norma demokrasi, bahkan euforia kebebasan dijadikan “pembenaran” untuk bertindak melanggar hukum, termasuk melakukan aksi kekerasan. Padahal tindakan melanggar hukum jelas tidak sejalan dengan semangat reformasi dan demokrasi itu sendiri.

Demokrasi yang benar harus berjalan dalam rel penegakan hukum dan etika. Demokrasi tanpa hukum dan etika akan memunculkan anarki. Orang yang percaya pada demokrasi harus percaya pada berlakunya hukum itu sendiri.

Lagipula, kekerasan bukanlah adab kemanusiaan kita. Di Indonesia, aksi kekerasan dalam wujud apapun jelas bertentangan UUD dan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dalam agama Islam, jalan musyawarah lebih diutamakan dalam menyelesaikan suatu masalah, karena Islam adalah agama damai.

Jadi kalau ada yang mengaitkan (ajaran) Islam dengan kekerasan, termasuk terorisme, jelas suatu pandangan keliru.

Secara psikologi, maraknya kekerasan bercorak sosial mengambarkan situasi kejiwaan masyarakat kita. Ada yang menyebut, maraknya kekerasan, korupsi, dan penyimpangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang sedang sakit.

Orang tidak peduli dengan orang lain atau kelompok lain. Mereka hanya peduli dengan dirinya dan kelompoknya sendiri. Kekerasan yang dilakukan pelajar, mahasiswa dan geng motor, misalnya, jelas menggambarkan adanya situasi “alienasi sosial”.

Situasi semacam itu dalam batas tertentu bisa “dimaklumi” mengingat tidak sinkronnya antara ideal pendidikan dengan realitas sosial. Di kota besar, seperti Jakarta, ruang-ruang bagi proses kreatif anak dan remaja kian hilang.

Ruang-ruang terbuka tempat warga (terutama anak dan remaja) untuk bersosialisasi makin susut digantikan mal dan pusat-pusat perbelanjaan. Tentu saja, ruang-ruang komersil semacam itu hanya bisa diakses sebagian masyarakat saja, dan tidak bisa menggantikan fungsi ruang-ruang terbuka.

Di sisi lain, beban dan himpitan ekonomi juga bisa memicu orang atau masyarakat untuk bertindak anarki dan melanggar hukum. Ketimpangan sosial dalam masyarakat, kemiskinan dan pengangguran yang luas dapat menjadi “api dalam sekam” bagi aksi kekerasan di tengah masyarakat.

Menghilangkan atau meminimalisir kekerasan dalam masyarakat jelas bukan pekerjaan mudah. Di tengah pelbagai situasi ketidakpastian hukum dan rendahnya kepercayaan masyarakat pada aparat, menormalisasi kondisi sosial semacam ini jelas tak semudah membalikkan telapak tangan.

Keteladanan pemimpin dan aparat keamanan jelas menjadi pekerjaan rumah yang utama. Jika persoalan dasar ini selesai, perkejaan rumah lain, seperti pembenahan regulasi dan pembentukan tertib sosial, hanya akan mengikut saja. (Baihaqi Hidayat, pengamat masalah sosial)


sumber : disini